Dalam ekosistem perfilman nasional, keberadaan Production House Film Indonesia menjadi tulang punggung yang menopang seluruh proses kreatif dan teknis dalam pembuatan film. Dari masa kolonial hingga era digital, perkembangan Production House mencerminkan kemajuan industri film secara keseluruhan.
Artikel ini akan menelusuri perjalanan panjang dunia Production House di Indonesia: dari awal mula, era keemasan, kemunduran di tahun 1990-an, hingga kebangkitan di era digital.

Awal Mula Industri Film dan Lahirnya Production House
Sejarah perfilman di Indonesia dimulai sejak 1926 dengan film bisu Loetoeng Kasaroeng, disutradarai oleh sutradara Belanda G. Krugers dan diproduksi oleh NV Java Film Company di Bandung. Namun, film ini lebih merupakan dokumentasi budaya daripada film cerita dengan alur dramatis.
Perubahan signifikan terjadi di akhir 1930-an melalui film Terang Boelan (1937) yang diproduksi oleh Tan’s Film. Film ini dianggap sebagai pionir film box office Indonesia dan mendorong munculnya beberapa perusahaan film lokal — cikal bakal dari Production House masa kini.
Setelah Indonesia merdeka, nama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia), yang didirikan oleh Usmar Ismail pada 1950, menjadi Production House nasional pertama yang bergerak secara profesional. Film Darah dan Doa (1950) yang diproduksi Perfini dianggap sebagai film nasional pertama karena seluruh kru dan proses produksinya dilakukan oleh anak bangsa.
“Usmar Ismail adalah peletak dasar industri film Indonesia. Ia menganggap film sebagai media seni, bukan sekadar komoditas.”
— Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900–1950
Era Keemasan: 1970–1980-an
Era 1970 hingga awal 1980-an adalah masa keemasan Production House Film Indonesia. Produksi film melonjak hingga lebih dari 100 judul per tahun. Film Indonesia laku keras di bioskop, dan banyak tokoh legendaris seperti Benyamin Sueb, Warkop DKI, Suzanna, dan Rhoma Irama merajai layar lebar.
Beberapa Production House yang dominan pada masa ini:
- Rapi Films: Dikenal dengan film horor seperti Pengabdi Setan (1980).
- Parkit Film: Fokus pada film bertema sejarah dan nasionalisme, seperti Janur Kuning.
- PT Tuti Mutia Film, PT P.T.I.K. Film, dan Aroma Film turut mewarnai jagat produksi saat itu.
Dukungan pemerintah pada masa ini cukup kuat, terutama melalui Festival Film Indonesia (FFI), yang menjadi ajang bergengsi penghargaan nasional. Namun, sensor pemerintah sangat ketat, sehingga membatasi ruang kreativitas sineas.
Kemunduran di Era 1990-an
Memasuki tahun 1990-an, industri film mengalami keterpurukan. Produksi film lokal menurun drastis, bahkan pada 1996 hanya tersisa satu film Indonesia yang dirilis di bioskop: Sri karya Marselli Sumarno.
Faktor penyebab kemunduran:
- Meningkatnya sinetron di TV swasta: Produksi sinetron dinilai lebih murah dan cepat.
- Membanjirnya film impor: Terutama film Hollywood yang mendominasi layar bioskop.
- Minimnya dukungan pemerintah: Tidak ada insentif atau regulasi khusus untuk perfilman nasional.
“Ketika bioskop dikuasai oleh film asing, PH lokal beralih ke sinetron karena itu yang menjanjikan pemasukan.”
— Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia
Banyak Production House gulung tikar atau pindah haluan ke iklan dan sinetron, menyebabkan ekosistem perfilman Indonesia nyaris mati suri.
Kebangkitan Film Indonesia dan Munculnya Production House Baru
Kebangkitan film nasional dimulai pada awal 2000-an, terutama melalui film Petualangan Sherina (2000) dan Ada Apa Dengan Cinta? (2002). Kesuksesan ini membuka jalan bagi kebangkitan kembali Production House yang fokus pada karya film layar lebar.
Production House baru yang muncul dan berkontribusi besar dalam fase ini antara lain:
- Miles Films – Didirikan Mira Lesmana & Riri Riza.
- Starvision Plus – Banyak menghasilkan film komedi dan drama remaja.
- Visinema Pictures – Terkenal dengan Cahaya dari Timur dan Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini.
- MD Pictures – Salah satu PH terbesar di Asia Tenggara yang juga IPO di bursa efek.
PH-PH ini mulai mengusung nilai artistik, visual storytelling, dan produksi berkualitas internasional. Mereka juga menggandeng aktor muda berbakat serta menembus pasar film festival dunia.
Era Digital dan Transformasi Produksi
Transformasi digital membawa perubahan besar pada cara produksi dan distribusi film. Produksi kini lebih efisien berkat kamera digital, software editing, dan pipeline kerja yang fleksibel.
Selain itu, platform digital seperti:
- Netflix
- Disney+ Hotstar
- Vidio
- KlikFilm
- Bioskop Online
…menjadi kanal distribusi alternatif bagi Production House. Tak hanya layar lebar, mereka kini memproduksi:
- Serial web
- Film dokumenter
- Film pendek festival
- Film orisinal untuk OTT (Over-the-top)
PH kecil hingga menengah pun mulai bermunculan, dengan model kerja kolaboratif dan pendanaan mandiri (crowdfunding atau inkubasi kreatif).
“Era digital memungkinkan pembuat film independen bersaing di level yang sama dengan studio besar.”
— Edwin, Sutradara peraih Piala Citra
Tantangan dan Masa Depan Production House Film Indonesia
Meski kebangkitan perfilman nasional menjanjikan, Production House Film Indonesia masih menghadapi tantangan:
- Distribusi bioskop belum merata – 80% bioskop masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
- Akses pendanaan masih terbatas – Investor umumnya hanya mau membiayai film berpotensi komersial.
- Persaingan dengan film asing – Film blockbuster Hollywood terus mendominasi.
- Literasi penonton – Banyak penonton belum terbiasa dengan film artistik atau eksperimental.
Namun, masa depan tetap cerah. Generasi sineas muda kini memiliki lebih banyak akses teknologi, pelatihan, dan jaringan internasional. Beberapa Production House juga telah menembus pasar global melalui festival film bergengsi seperti Berlinale, Busan, dan Cannes.
Penutup
Perjalanan Production House Film Indonesia mencerminkan naik-turun sejarah perfilman nasional: dari kolonialisme, keemasan, krisis, hingga kebangkitan era digital. Masing-masing era melahirkan tantangan sekaligus peluang baru.
Ke depan, Production House perlu terus berinovasi, membangun ekosistem kolaboratif, dan memperkuat distribusi agar film Indonesia bisa bersaing di ranah lokal maupun global.
Dengan semangat kreativitas dan keberanian bercerita, Production House akan tetap menjadi ujung tombak industri film Indonesia.